BAB 12
KASUS-KASUS
ARAHAN DOSEN
1.
Kasus Hak Pekerja
Lima pekerja di salah
satu perusahaan transportasi di Pasuruan diberhentikan/ di-PHK karena bergabung
dengan Serikat Pekerja. Perusahaan PO.X memiliki beberapa divisi, diantaranya
adalah divisi bengkel dan divisi kru bis. Serikat Pekerja divisi bengkel telah
berhasil menuntut hak mereka yaitu mengenai upah, upah yang diberikan
sebelumnya Rp. 25.000/hari padahal Upah Minimum Kabupaten sebesar Rp.
40.000/hari dan biaya Jamsostek yang 100% dibebankan kepada pekerja. Sekarang
divisi bengkel telah menikmati upah yang sesuai dengan UMK dan memiliki
Jamsostek yang dibayarkan oleh perusahaan.
Mengikuti kesuksesan
divisi bengkel dalam menuntut hak kerja mereka, para pekerja di divisi kru bis
pun mulai bergabung dengan Serikat Pekerja. Pekerja divisi kru bis banyak
mengalami pelanggaran hak-hak pekerja, diantaranya adalah pembagian upah yang
menganut sistem bagi hasil. Perhitungannya sistem bagi hasil tersebut adalah :
a.
Supir : 14% dari
pendapatan bersih per hari
b.
Kondektur : 8%
dari pendapatan bersih per hari
c.
Kenek : 6% dari
pendapatan bersih per hari
Apabila pekerja tidak
masuk kerja akan dikenakan denda sebanyak Rp. 500.000/hari kecuali tidak masuk
kerja karena sakit. Tunjangan Hari Raya pun tidak pernah diberikan kepada
pekerja. Masalah lain adalah mengenai tidak diberikannya fasilitas jamsostek,
sehingga apabila terjadi kecelakaan kerja (kecelakaan bus), pekerja harus
menanggung sendiri biayanya.
Akan tetapi,
perjuangan divisi kru bis lebih berat dibanding divisi bengkel karena
perusahaan sudah semakin pintar dalam berkelit. Mereka tidak mempunyai
Perjanjian Kerja Bersama (PKB), semua perintah dan peraturan dikemukakan secara
lisan sehingga pekerja tidak memiliki bukti tertulis yang bisa dijadikan
senjata untuk melawan perusahaan seperti halnya yang dilakukan pekerja di
divisi bengkel sebelumnya.
Kasus tersebut telah
dilaporkan ke Dinas Tenaga Kerja setempat, diputuskanlah bahwa kelima orang
pekerja tersebut akan mendapat pesangon dan kasusnya akan dibawa ke Pengadilan Hubungan
Industrial (PHI). (Http://www.gajimu.com.
Diakses dari Internet pada Hari Kamis, Tanggal 31 Oktober 2012, Pukul 01.15
WIB.)
2.
Kasus Iklan Tidak Etis
Perang provider celullar paling seru saat ini
adalah antara XL dan Telkomsel. Berkali-kali kita dapat melihat iklan-iklan
kartu XL dan kartu as/simpati (Telkomsel) saling menjatuhkan dengan cara saling
memurahkan tarif sendiri. Kini perang 2 kartu yang sudah ternama ini kian
meruncing dan langsung tak tanggung-tanggung menyindir satu sama lain secara
vulgar. Bintang iklan yang jadi kontroversi itu adalah SULE, pelawak yang
sekarang sedang naik daun. Awalnya Sule adalah bintang iklan XL. Di XL, Sule
bermain satu frame dengan bintang cilik Baim dan Putri Titian.
Di situ, si Baim
disuruh om sule untuk ngomong, “om sule ganteng”, tapi dengan
kepolosan dan kejujuran (yang tentu saja sudah direkayasa oleh sutradara ) si
baim ngomong, “om sule jelek..”. Setelah itu, sule kemudian membujuk baim
untuk ngomong lagi, “om sule ganteng” tapi kali ini si baim dikasih es krim
sama sule. Tapi tetap saja si baim ngomong, “om sule jelek”. XL membuat sebuah
slogan, “sejujur baim, sejujur XL”. Iklan ini dibalas oleh TELKOMSEL
dengan meluncurkan iklan kartu AS. Awalnya, bintang iklannya bukan sule, tapi
di iklan tersebut sudah membalas iklan XL tersebut dengan kata-katanya yang
kurang lebih berbunyi seperti ini, “makanya, jangan mau diboongin anak
kecil..!!!” Nggak cukup di situ, kartu AS meluncurkan iklan baru
dengan bintang sule. Di iklan tersebut, sule menyatakan kepada pers bahwa dia
sudah tobat. Sule sekarang memakai kartu AS yang katanya murahnya dari awal,
jujur. Sule juga berkata bahwa dia kapok diboongin anak kecil sambil tertawa
dengan nada mengejek. Perang iklan antar operator sebenarnya sudah lama
terjadi. Namun pada perang iklan yang satu ini, tergolong parah. Biasanya,
tidak ada bintang iklan yang pindah ke produk kompetitor selama jangka waktu
kurang dari 6 bulan. Namun pada kasus ini, saat penayangan iklan XL masih
diputar di Televisi, sudah ada iklan lain yang “menjatuhkan” iklan lain dengan
menggunakan bintang iklan yang sama.
3.
Kasus Etika Pasar Bebas
Akhir-akhir ini makin
banyak dibicarakan perlunya pengaturan tentang perilaku bisnis terutama
menjelang mekanisme pasar bebas. Dalam mekanisme pasar bebas diberi kebebasan
luas kepada pelaku bisnis untuk melakukan kegiatan dan mengembangkan diri dalam
pembangunan ekonomi. Disini pula pelaku bisnis dibiarkan bersaing untuk
berkembang mengikuti mekanisme pasar.
Dalam persaingan antar
perusahaan terutama perusahaan besar dalam memperoleh keuntungan sering kali
terjadi pelanggaran etika berbisnis, bahkan melanggar peraturan yang berlaku.
Apalagi persaingan yang akan dibahas adalah persaingan produk impor dari
Indonesia yang ada di Taiwan. Karena harga yang lebih murah serta kualitas yang
tidak kalah dari produk-produk lainnya.
Kasus Indomie yang
mendapat larangan untuk beredar di Taiwan karena disebut mengandung bahan
pengawet yang berbahaya bagi manusia dan ditarik dari peredaran. Zat yang
terkandung dalam Indomie adalah methyl parahydroxybenzoate dan benzoic
acid (asam benzoat). Kedua zat tersebut biasanya hanya boleh digunakan untuk
membuat kosmetik, dan pada Jumat (08/10/2010) pihak Taiwan telah memutuskan
untuk menarik semua jenis produk Indomie dari peredaran. Di
Hongkong, dua supermarket terkenal juga untuk sementara waktu tidak memasarkan
produk dari Indomie.
Kasus Indomie kini
mendapat perhatian Anggota DPR dan Komisi IX akan segera memanggil Kepala BPOM
Kustantinah. “Kita akan mengundang BPOM untuk menjelaskan masalah terkait
produk Indomie itu, secepatnya kalau bisa hari Kamis ini,” kata Ketua Komisi IX
DPR, Ribka Tjiptaning, di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa
(12/10/2010). Komisi IX DPR akan meminta keterangan tentang kasus Indomie ini
bisa terjadai, apalagi pihak negara luar yang mengetahui terlebih dahulu akan
adanya zat berbahaya yang terkandung di dalam produk Indomie.
A Dessy Ratnaningtyas,
seorang praktisi kosmetik menjelaskan, dua zat yang terkandung di dalam Indomie yaitu
methyl parahydroxybenzoate dan benzoic acid (asam benzoat) adalah bahan
pengawet yang membuat produk tidak cepat membusuk dan tahan lama. Zat berbahaya
ini umumnya dikenal dengan nama nipagin. Dalam pemakaian untuk produk kosmetik
sendiri pemakaian nipagin ini dibatasi maksimal 0,15%.
Ketua BPOM Kustantinah
juga membenarkan tentang adanya zat berbahaya bagi manusia
dalam kasus Indomie ini. Kustantinah menjelaskan bahwa benar
Indomie mengandung nipagin, yang juga berada di dalam kecap dalam kemasam mie
instan tersebut. tetapi kadar kimia yang ada dalam Indomie masih
dalam batas wajar dan aman untuk dikonsumsi, lanjut Kustantinah.
Tetapi bila kadar
nipagin melebihi batas ketetapan aman untuk di konsumsi yaitu 250 mg per
kilogram untuk mie instan dan 1.000 mg nipagin per kilogram dalam makanan lain
kecuali daging, ikan dan unggas, akan berbahaya bagi tubuh yang bisa
mengakibatkan muntah-muntah dan sangat berisiko terkena penyakit kanker.
Menurut Kustantinah, Indonesia yang merupakan anggota Codex Alimentarius
Commision, produk Indomie sudah mengacu kepada persyaratan
Internasional tentang regulasi mutu, gizi dan kemanan produk pangan. Sedangkan
Taiwan bukan merupakan anggota Codec. Produk Indomie yang dipasarkan
di Taiwan seharusnya untuk dikonsumsi di Indonesia. Dan karena standar di
antara kedua negara berbeda maka timbulah kasus Indomie ini.
Sumber :